Kamis, 18 Juni 2015

HUJAN DAN AROMA KOPI (sebelas)




Ara menangis sejadi-jadinya. Ia akhirnya menemukan ruang yang sepi untuk menangis, ruang musik.
Dia benar-benar tidak percaya hal konyol seperti ini akan menimpa dirinya.

‘Oke, cukup nangisnya. Gue bukan orang lemah. Masa gini doang nangis!’ Ara berusaha menyemangati dirinya sendiri, ia mengepalkan satu tangannya ke udara.

‘Tapi gue ga mau jadi kaya gini.. huaaaaaa’ tangisnya kembali meluap. Kata-kata penyemangatnya sudah tidak mempan lagi baginya.

Seseorang menarik kepala Ara, membiarkan Ara bersandar di dadanya, “Gue kasih tau ya. Lo boleh nangis, tapi Cuma boleh nangis di dada gue. Biar ga ada yang tau kalo lo nangis. Orang-orang Cuma boleh tau kalo Ara itu ga cengeng” ujarnya yang malah membuat tangisan Ara makin menjadi.

Ara mengenal aroma dari cowok yang kini menjadi sandarannya tapi orang itu sedang tidak ada di Indonesia. Dan apa yang dilakukan cowok ini membuat Ara amat merindukan sosok yang amat jauh darinya, Natta.
Jadi siapa cowok yang sedang bersamanya kini?

Ara mengelap air mata dari wajahnya, baru melepas tangan cowok tersebut yang memaksanya untuk bersandar di dada cowok tersebut.

“Nadja?” Ara memandang orang dihadapannya dengan wajah tidak percaya.

“Walapun lo bikin gemes kalo abis nangis gini. Tapi tetep aja gue lebih suka ngeliat lo ketawa karena baca komik atau marah karena gue jaliin. Jangan pernah berpikir cewek nangis itu cantik!” Nadja menjitak pelan kepala Ara membuat Ara sedikit meringis.

“Isssshh. Sempet-sempetnya ya lo nganiaya gue” Protes Ara.

“Awas kalo gue liat lo nangis lagi. Bakal gue jalin lo sampe kelulusan! Karena lebih asyik liat lo marah daripada nangis” Ancam Nadja lalu pergi meninggalkan Ara.


***


Raka mengepalkan kedua tangannya. Apa yang sedang ia lihat dihapannya benar-benar membuat kemarahannya memuncak.

Cindy dan beberapa teman segenk nya, Rainbow. Amat sangat terlihat berbahagia, aksi pertama mereka untuk menjatuhkan Ara berhasil.

Tanpa pikir panjang Raka melangkahkan kakinya menghampiri kerumunan cewek cewk kurang waras terseut. Ia langsung menghentikan langkahnya di depan Cindy. Memandang Cindy dengan tatapan marah dan jijik.

Ia langsung menarik paksa tangan Cindy. Memaksa Cindy mengikuti langkahnya.
“Ih, lepasin gue! Lo mau ngapain!” protes Cindy sambil terus berusaha melepaskan cengkraman tangan Raka.

Raka tidak bergeming. Ia masih memaksa Cindy mengikuti langkahnya. Raka membawa Cindy ke taman belakang sekolah. Raka langsung memojokan Cindy ke tembok, menatap Cindy dengan penuh amarah.
“Lo-cari-mati” bisik Raka di telinga Cindy, membuat Cindy nampak ketakutan.
“Lo ngapain bikin heboh sekolah begini? Sekalian aja ngebom kalo mau bikin heboh!” ucap Raka kasar. Ia semakin memojokan Cindy ke tembok kedua tangannya terentang sehingga Cindy sama sekali tidak punya kesempatan untuk melarikan diri.

Cindy masih diam, matanya nampak mencoba menutupi rasa takut.
“Lo ga usah ikut campur!”

Raka tertawa, lalu kembali menatap tajam Cindy.
“Kalo gue ga boleh ikut campur.. Ga usah bawa-bawa gue..” ujarnya.
“Satu lagi. Jangan pernah sentuh Ara lagi. Wake up girl! Lo itu busuk! Secantik dan setajir apapun elo! Kalo tingkah lo idiot begini. Gue rasa orang idiot juga ga mau.. Jangan pernah ngemis cinta Nadja lagi, jangan pernah nyakitin dia lewat Ara. Ja-ngan!”

Cindy tersenyum, “Bukannya bagus? Gue bisa bantuin lo dapetin Ara..”

Raka mendekatkan wajahnya ke wajah Cindy, “Gue ga sebusuk lo! Gue bukan idot jahat kaya lo. Gue bisa berjuang sendiri..” ujarnya. Lalu meninggalkan Cindy.


*****


Raka melihat Nadja keluar dari ruang musik, tak lama kemudian Ara terlihat juga keluar dari ruang musik.
‘Sial! Gue kalah lagi..’ desisnya sebal.

Ia langsung berlari menghampiri Ara yang sedang berjan dengansedikit terhuyung.
“Maaf..” ujarnya lirih, membuat Ara sedikit terkejut, dan langsung memandangnya. Perasaan kesal kembali menyelimuti Raka. Ia benar-benar benci melihat gadis menangis.

Ara menghentikan langkahnya, menatap Raka dengan kesal tapi menggemaskan.
“LO BODOOOOH! Gara-gara lo dateng ke kelas jadi begini kan!” ujarnya dengan menunjuk tepat ke wajah Raka menggunakan telunjuknya.

Melihat tingkah Ara malah membuat Raka tertawa.

Ara mengerucutkan bibirnya.
“Heh bodoh! Siapa suruh lo ketawa?!” bentak Ara kasar.

“Oke sorry.. Gue bener-bener minta maaf..” pinta Raka.

Ara kembali melangkahkan kakinya, pandangannya menatap ke arah lantai. Raka segera mengikutinya.
“Gue cuma mau jadi anak yang ga bikin rusuh..” ujar Ara.


*****

Rabu, 17 Juni 2015

HUJAN DAN AROMA KOPI (sepuluh)



“Huuuuuuaaaaaaaahh..” Ara menguap lebar. Ia terpaksa berangkat lebih pagi karna ia benar-benar tidak mampu mengerjakan PR tadi malam.
Ara mengucek matanya rasanya ia sudah tidak sanggup lagi.. Rasa kantuknya benar-benar tidak tertahankan.

Sekeliling kelas masih lengang, belum ada satu orang pun di kelas. Ara meletakan kepalanya yang masih memakai topi Cookie Monster dari Nadja di atas meja. PR nya masih ada beberapa nomer lagi. Tapi Ara sudah sangat mengantuk. Mungkin akan lebih baik baginya jika tertidur barang lima menit.

“Apa lo ga punya rumah, sampe harus tidur di sekolah?”
Baru saja Ara akan terbawa ke alam mimpi. Sudah ada orang yang mengganggu tidurnya.

Ara bahkan tidak mampu mengangkat kepalanya ia tetap meletakan kepalanya di atas meja, hanya mengubah posisi kepalanya dari awalnya menghadap tembok, terpaksa berbalik ke arah datangnya suara.

Tanpa perlu izin dari siapapun Raka sudah duduk di sebelah Ara. Ia menekuk kedua tangannya diatas meja. Dan meletakan kepalanya diatas lengannya tepat menghadap wajah Ara yang bahkan masih kesulitan untuk membuka mata.

“Lo, bener-bener ngantuk kayanya ya” ujar Raka lalu tertawa kecil. Melihat Ara dengan posisi seperti ini dengan menggunakan topi lucu, tertidur diatas tumpukan buku, benar-benar menggemaskan.

Ara masih belum merubah posisinya, matanya bahkan sangat sulit untuk terbuka. Sampai akhirnya silau blitz kamera milik Raka membuat kesadarannya hampir pulih seutuhnya. Ara berhasil membuka matanya.

“Lo ngapain disini?” tanya Ara, tanpa merubah posisinya, matanya membelalak terkejut, melihat seseorang tanpa seizinnya mengambil gambarnya. Yang ekspresinya pasti sangat tidak fotogenik.

Ara duduk tegak, Raka pun refleks ikut bengun dari posisinya. Ara masih memandang kesal ke arah Raka.
“Lo ngapain disini?” Ara mengulangi pertanyaannya.

Raka terkekeh, ia tidak menyangka Ara akan semanis ini saat marah. Pantas saja, Nadja sangat senang menjaili Ara.
“Gue Cuma mau nemenin lo doang ko.. Pagi-pagi udah di kelas sendirian, mending gue temenin kan..” jawab Raka.

Ara merengut kesal.
“Yaudah sekarang mending lo minggir gue mau ke toilet..” ujar Ara sambil berdiri. Posisi tempat duduknya yang di ujung tembok benar-benar tidak memungkinkan dia untuk keluar dengan Raka yang asyik duduk menghalangi.

“Oke, tapi gue ikut..” ucap Raka santai. Ia menggantungkan Nikon kesayangannya ke lehernya.

Ara mengernyitkan dahinya ‘Gila ni cowok, bener-bener ga tau sopan santun..” rutuknya dalam hati.

“Oke-oke.. Gue ga akan se ekstrim itu.. Sebagai ketua klub Fotogrfi gue cuma nyambut anggota baru doang ko, sekalian ngasih ini..” kata Raka lalu menyerahkan selembar kertas berisi jadwal kegiatan klub Fotografi.
“Gue pergi dulu kalo gitu, gue harap bayaran gue di kedai kopi waktu itu ga kurang..” Ara nampak kaget mendengar perkataan terakhir yang dilontarkan Raka.

Raka berjalan keluar kelas dengan santainya. Meninggalkan Ara yang masih tercengang karena terlambat menyadari bahwa yang sedari tadi ada dihadapannya adalah Raka, orang yang tak lain adalah musuh Nadja, yang telah ia hajar dengan kamus, salah satu orang yang tahu ia kerja di kedai kopi, dan juga si ketua klub Fotografi. Ara memang perlu memeriksa otaknya yang suka rada lola.


***


Suara bel tanda jam istirahat  kedua sudah berdering dari beberapa menit yang lalu. . Cuaca sudah mendung dari pagi, dan akhirnya hujan turun dengan cukup lebat. Membuat hampir semua warga XI-B  nampak tidak beringsut dari tempatnya. Malah asyik memainkan gadgetnya atau tidur.

Hampir semuanya, karena Ara malah jongkok di depan kelas, membiarkan air hujan yang mengalir dari genting asyik menari di jemarinya. Matanya berbinar memandang langit yang kelabu. Ingin rasanya ia berlari ke tengah lapangan. Membiarkan hujan membawa semua kepenatannya.

Hari ini Ara habis jadi korban kejailan Nadja. Mulai dari buku-bukunya menghilang entah kemana, komik-komiknya yang terpaksa di sita sampai tidak ikut olahraga karena baju olahraganya di siram kuah bakso. Siapa lagi orang bodoh yang tega melakukan hal seperti itu kecuali Nadja. Ditambah lagi tadi pagi, Ara di datangi Raka.

Ara masuk ke kelasnya. Tampaknya Nadja sedang tidak ada di kelas. Karena kelas benar-benar nampak sepi. Tanpa suara gaduh Nadja dan teman-temannya.

Baru saja Ara duduk santai di kursinya. Andin tiba-tiba datang dengan wajah panik.

“Araaaa.....” teriak Andin dari awal tubuhnya memasuki kelas.

Ara memandang Andin dengan tatapan heran. Si biang gosip ini pasti habis menemukan gosip bodoh lagi. Andin memang ahlinya masalah bergosip.
Ara kadang lelah mendengar semua hot news dari mulut Andin. Mulai dari si A pacaran sama si B yang ternyata selingkuh sama si C dan akhirnya putus dan jadian lagi sama si D, kisruh OSIS, kisruh dewan guru sampai kabar bahwa genk kue-kue yang mulai mengincar Ara.

“Apa Andin?” tanya Ara, sementara Andin nampak terengah-engah.

“LO HARUS LIAT MADING SEKARANG JUGA!” jawab Andin dengan tegas membuat Ara malah mengerutkan keningnya.

“Kenapa emangnya?” Ara memasang wajah tak pedulinya, membuat Andin makin gemas.

“Isssssshhhhh.. Ayo udah ikut aja” Andin menarik tangan Ara.

Sesuatu yang tertempel di mading membuat Ara tidak bisa bergerak.
Sebuah foto tertempel. Nampak dua orang sedang menidurkan kepala mereka. Ara mengenal baik bahwa yang di foto itu adalah dirinya. Dan Ara makin tercekat begitu sadar bahwa seorang lainnya yang berada di hadapannya dan memegang kamera adalah Raka.

Kata-kata yang terulis dibawah foto tersebut membuat Ara ingin tenggelam di segitiga bermuda.

Anak Baru Berulah!
Bukan hanya mencuri hati si pentolan sekolah, juga asyik berduaan sama ketua fotografi
BUAT CEWE CEWE HARAP BERHATI-HATI
Bisa jadi cowok kalian jadi incaran si anak baru’



 *****


Ara masih diam tak bergerak mencerna kata-kata yang baru saja ia baca. Sampai tubuh seseorang menabraknya dari belakang. Ara masih belum memalingkan pandangannya dari mading.

“Apaan sih Dion, make dorong dorong segala?” tanya Raka yang ternyata juga di paksa untuk melihat kekacauan di Mading.

“Liat itu baik-baik..”

Raka tercengang melihat apa yang ada di mading dan makin geram begitu melihat orang yang ditabraknya tadi. Ara diam tak bergerak sambil menahan tangis.

Tiba-tiba Ara bergerak meninggalkan tempatnya, menabrak semua orang yang menghalangi jalannya termasuk Raka.
Raka tahu gadis itu pasti benar-benar menangis sekarang.

‘Kue cubit ga bermanfaat.. Ini pasti kerjaan mereka’ umpat Raka dengan kedua tangan terkepal. Dirobeknya dengan paksa foto dan tulisan di mading itu, lalu langsung pergi dengan mata yang penuh amarah.

***







a/n

huuuuuuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah....
akhirnya si pemalas bodoh mau nulis lagi.. btw. selamat menunaikan ibadah puasa manteman!
ayo berlomba mencari kebaikan!

lama banget updatenya karena saya terlalu malas... baru selesai ukk tugas ini itu remed ini itu duhhhhh... senin pengambilan rapot doakan saya naik kelas!

kelas XII rasanya ituuuuuu......
gatau bisa sebebas ini dalam menyalurkan imajinasi atau malah ga punya waktu buat berimajinasi. bukankah hidup saya di dalam imajinasi? -ah sudahlah-maaf saya tidak tahu saya bicara apa-

oke a/n kali ini saya mau minta maaf kalo banyak salah, tapi pastinya saya banyak salah deh.... maafkannn!!!

ini pendek dan amat sangat tijel.
oke segini aja karena saya rasa a/n nya lebih panjang dari updatenya.
muah!

*keonaranterlaksana
*NOX!

Senin, 01 Juni 2015

nothing



Hening..
Kadang keheningan lebih mampu menjelaskan banyak hal daripada ribuan kata yang harus diucapkan.

Tapi kadang, orang-orang gangerti.. saat seseorang diam.. bukan berarti ga terjadi apa-apa.

Manusia pemain peran yang baik. Saya rasa saya termasuk pemain peran yang baik.
Saya punya terlalu banyak topeng untuk berperan.. Sampai saya sendiri ga bisa ngenalin diri saya sendiri.  Sudah terlalu banyak topeng yang saya kenakan. Sampai saya ga tau apa perasaan saya sendiri. Semuanya campur aduk.

Saya capek, Cuma mimpiin perfect life yang sering saya liat, saya denger, saya baca. Setidaknya ada kebahagian juga akhirnya di situ.
Dan diam-diam, saya juga percaya.. Saya akan ngerasain Happy Ending juga nantinya.

Saya sadar hidup saya ga terlalu semenyedihkan itu juga. Banyak tempat yang siap saya tempati untuk berbagi.
Tapi, rasanya terlalu sesak.. Saya ga siap untuk berbagi. Terlalu sulit mengatakan hal yang sangat tidak kamu pengen, hal yang sangat kamu tidak percayai akan terjadi di hidupmu.

Mungkin saya cuma jadi manusia dengan rasio mengeluh yang lebih besar daripada bersyukur. Saya bukan orang yang patuh, saya pembangkang. Saya penakut, ga bisa apap-apa.

Bertingkah seakan semuanya baik aja, seakan hidup mu sempurna, seakan dadamu ga sesak karna terlalu sering menahan tangis.
Saya bahkan ga sadar saya melakukan itu setiap hari.. Saya Cuma terlalu terbiasa.
Saya pembohong yang baik.. Sangat baik..

Saya bahkan ga ngerti kenapa saya tulis ini..
Mungkin karna, saya capek mendem ini sendiri.
Saya bukan orang yang bisa ngungkapin isi hati dengan mudahnya.

Jadi mungkin apa yang saya tulis ini ga menggambarkan, bahkan sedikit  saja perasaan saya.

Saya terlalu banyak bermimpi. Sampai-sampai saya ga bisa bedain. Saya yang sekarang itu saya yang di dunia nyata, atau saya yang hanya ada dalam imajinasi.
Menyedihkannya lagi, saya ini pemalas yang bodoh. Bermimpi ini itu, tapi terlalu penakut untuk mewujudkannya. Saya sudah bermimpi terlalu tinggi. Saya mohon bantu saya untuk kembali berpijak.

Saya pembohong yang baik, pemimpi yang takut untuk bangun dan pemalas yang bodoh..

Masih adakah tempat buat saya kembali berpijak di bumi. Saat saya sudah sangat menikmati mengambang tak tentu arah di langit yang bahkan kelam tak berbintang.

Saya mohon.
Bantu saya..

Jumat, 08 Mei 2015

HUJAN DAN AROMA KOPI (sembilan)



“Uhuk.. Apa?” Andin masih tidak percaya dengan apa yang Ara ceritakan. Dia hampir tersedak baso yang baru saja masuk mulutnya.

Ara hanya menunduk lemas. Dia bahkan tidak memesan apa-apa. Padahal ia belum sempat sarapan, karna tadi pagi ia berangkat lebih pagi dari biasanya.

“Sebenarnya lo itu kenapa sih? Kayanya ada aja gituu..” Andin beringsut kesal ia terus-terusan memakan baso nya, sebegai ekspresi dari isi hatinya.

“Gue juga ga tau..” ujar Ara, ia menekuk mukanya ia sembunyikan di balik tangannya.

Suasana kantin makin ramai. Banyak orang berdesak-desakan di setiap tukang jualan. Ara belum bangkit dari posisinya. Masih menelungkupkan kepalanya di kedua tangannya yang bersandar diatas meja.

“Terus tadi pagi lo kemana? Kok siang banget masuk kelas?” tanya Andin pada Ara yang masih belum bergerak.

Ara mengangkat kepalanya, dagunya masih bersandar di kedua lengannya.
“Gue disuruh dateng pagi pagi banget.. buat milih eskul” jawab Ara sambil memainkan jari lentiknya di atas meja.

Andin hanya menganguk-angguk kepalanya. Semangkuk basonya, kini sudah berpindah ke perutnya.
“Terus lu milih eskul apa?” tanya Andin lalu menegak air mineral.

“Fotografi..” jawab Ara singkat.

Andin hampir tersedak lagi. Ia sampai terbatuk batuk. Memaksa Ara bangkit dari posisinya dan membantu menghentikan batuk Andin.

“Apa? Fotografi?” tanya Andin tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

***

Raka menghentkan mortornya di bawah pohon dekat danau belakang komplek rumahnya. Motor Nadja tampak terlihat tak berapa jauh dari tempat Raka menghentikan motornya.
Raka berjalan kearah danau. Dilihatnya Nadja sedang duduk di tepi danau. Melempari batu demi batu kearah danau.

“Udah berapa banyak ikan yang mati kena tempongan lo?” tanya Raka datar lalu langsung duduk di sebelah Nadja.

Nadja terus melemparkan batu ke arah danau. Matanya tidak beralih sama sekali.
“Menurut lo Ara gimana?” tanya Nadja pada Raka yang telah mengeluarkan kameranya. Dan memulai membidik gambar.

Raka mengalihkan pandangannya dari objek potretnya.
Di tepuknya kepala Nadja dengan keras.
“Jadi lo serius sama tuh cewe?” tanya Raka lalu tersenyum kecut.

Nadja hanya diam, tetap dengan posisinya melemparkan batu ke arah danau dengan tangan kanan sementara  tangan kirinya menggemgam batu umpannya yang sekarang sudah hampir habis.

“Gue rasa, rasa suka lo sama dia cuma karna hal sepele. Kesamaan nama, bukannya itu hal biasa?” ujar Raka yang kembali asyik mengambil gambar.

Nadja berhenti melempari batu. Bukan hanya karna sudah kehabisan batu, tetapi juga karna harus mencerna kata-kata Raka dengan baik.
“Kesamaan nama? Kesamaan nama gimana?” tanya Nadja bingung.

Raka menghentikan kegiatannya mengambil gambar, ditatapnya Nadja lekat-lekat, “Jadi lo ga tau? Nama panjang Ara, Arasta Kania, Arasta. Nadja Arasta. Gue pikir karna itu..” kata Raka dengan menekan setiap menyebutkan satu kata, Arasta.

Nadja terpaku tak percaya mendengar apa yang baru saja Raka ucapkan. Sudah hampir satu bulan ia sekelas dengan Ara. Dan sama sekali tidak tahu nama panjangnya.

Raka menghela nafas panjang. Ia memandang Nadja yang masih diam tak bergeming.
“Jadi, kenapa lo begitu tertariknya sama tu cewek? Lo tau kan, apapun yang lo mau, apapun yang lo punya gue juga bakal dapetin itu..”

Nadja memandang Raka yang sedang mengamatinya juga. Dia bangkit dari duduknya.
“Kali ini lo harus berusaha lebih keras lagi sepertinya. Karna gue ga akan ngasih dia dengan sukarela” ujar Nadja lalu pergi meninggalkan Raka.

Raka hanya tersenyum kecil. Sisi buruknya sepertinya akan keluar lagi. Ia kembali membidik gambar untuk kembali menidurkan sisi buruknya itu.

***

Ara terus-terusan mengelap piring yang sebenarnya sudah kering, ia setengah melamun. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Andin katakan. Ketua klub fotografi adalah Raka.
Andin menyuruhnya untuk tidak usah ikut eskul fotografi, tapi tidak ada eskul lain yang menarik baginya. Ara tidak seperti Andin yang pandai berakting dan aktif dalam teater. Ara juga lemah dalam olahraga tidak mungkin baginya ikut eskul yang berhubungan dengan olahraga. Hanya fotografi yang menarik baginya.

Ara masih mengelap piring yang sama, hari ini tidak begitu banyak pengunjung di kedai. Sebelum pulang ia biasa mencuci piring dahulu. Hitung-hitung membantu pekerjaan pegawai yang lain.

“Ara belum pulang?” pertanyaan tersebut menyadarkan Ara dari lamunannya. Tante Ariana sudah ada di sebelahnya, nampak memandangi Ara dengan tatapan khawatir.

Ara meletakan piring yang sedari tadi di lap olehnya ke tempat yang seharusnya.
Ara tertawa kecil, “Ini sudah mau pulang kok Tan” ujar Ara.

“Yaudah, Tante anter ya.. Tante udah mau pulang juga.. kamu siap-siap ya” kata Tante Ariana. Ia mengelus kepala Ara dengan lembut sebelum keluar dari dapur. Membuat Ara merindukan sosok Mamanya.

Ara segera keluar dari dapur. Ia melepaskan celemek yang ia pakai. Ara merapikan rambutnya, melepaskan ikat rambutnya dan membiarkan rambut panjangnya yang lurus tergerai. Ia sebenarnya lebih menyukai rambut yang ikal, seperti rambut mamanya, tapi mau bagaimana lagi ia lahir dengan rambut seperti papanya, hitam dan lurus.
Ara memakai topinya. Kupluk cookie monster dengan sepasang mata khasnya dan tali menjuntai panjang di daerah telinga, pemberian dari Natta sebelum dia pergi ke italy. Ia pun segera keluar dan menghampiri Tante Ariana yang sudah siap di mobilnya.

“Gimana sekolah Ra?” tanya Tante Ariana setelah beberapa saat mereka berdua diam tak bergeming di mobil.

“Eh.. Baik ko Tan.. Ara ga begitu kesulitan di pelajaran, Ara juga sudah punya banyak temen..” jawab Ara agak kebingungan karna tiba-tiba ditanyai hal seperti itu oleh Tante Ariana.

“Bener nih? Kalo ada kesulitan bilang aja ya.. Tante kan wali kamu disini..” ujar Tante Ariana lalu tersenyum. Ia masih memandang ke arah depan. Memastikan dapat mengemudi dengan baik dan aman.

Ara menangguk. Lalu tersenyum simpul. Tak lama kemudian mobil Tante Ariana berhenti. Mereka sudah tiba di kosan Ara. Ara melepas Seatbeltnya, dan segera keluar mobil.
Setelah berpamitan dengan Tante Ariana. Ara langsung masuk ke kosannya.

Ara menyalakan lampu, ia berjalan kearah pantry dan mengambil minum di kulkas. Ia letakan tasnya di meja dan meringkuk sebentar di meja pantry. Ada PR matematika sebenarnya, tapi Ara terlalu lelah untuk mengerjakannya.

Ara menghela nafas. Ia lelah sekali..
Belum ada satu bulan tapi Ara seperti sudah akan menyerah. Ara rindu Mamanya, Papanya, Natta..
Ara merindukan keluarganya yang dulu. Saat semuanya masih utuh. Ara lelah hidup nomaden. Satu semester di mamanya, semester berikutnya di papanya. Makanya dia memutuskan untuk ngekos di Jakarta. Ia hampir menyerah dari semua itu, sampai akhirnya ia bertemu dengan Natta.

Natta bagaikan hujan yang menyejukan setelah hatinya lama kekeringan. Ara tau, Natta sama hancurnya dengan dia, lebih hancur malah. Tapi berdua mereka saling menguatkan. Ia benar-benar merindukan cowok menyebalkan itu. Yang selalu mengeluarkan kalimat-kalimat jayus. Yang sama sekali tidak akan membuatnya tertawa. Ekspresinya yang seakan memohon agar kalimatnya terdengar lucu, justru yang akan membuat Ara tertawa.

Ara bangkit dari posisinya yang meringkuk. Manik hitamnya nampak sedikit berkilat, ia tidak mau menangis lagi. Ara pergi ke kamar mandi. Lalu membersihkan badannya sebentar. Selesai mandi, Ara langsung beringsut di bawah selimutnya. Mencoba mendapatkan hidup yang lebih indah, di dunia lainnya.

***