Jumat, 08 Mei 2015

HUJAN DAN AROMA KOPI (sembilan)



“Uhuk.. Apa?” Andin masih tidak percaya dengan apa yang Ara ceritakan. Dia hampir tersedak baso yang baru saja masuk mulutnya.

Ara hanya menunduk lemas. Dia bahkan tidak memesan apa-apa. Padahal ia belum sempat sarapan, karna tadi pagi ia berangkat lebih pagi dari biasanya.

“Sebenarnya lo itu kenapa sih? Kayanya ada aja gituu..” Andin beringsut kesal ia terus-terusan memakan baso nya, sebegai ekspresi dari isi hatinya.

“Gue juga ga tau..” ujar Ara, ia menekuk mukanya ia sembunyikan di balik tangannya.

Suasana kantin makin ramai. Banyak orang berdesak-desakan di setiap tukang jualan. Ara belum bangkit dari posisinya. Masih menelungkupkan kepalanya di kedua tangannya yang bersandar diatas meja.

“Terus tadi pagi lo kemana? Kok siang banget masuk kelas?” tanya Andin pada Ara yang masih belum bergerak.

Ara mengangkat kepalanya, dagunya masih bersandar di kedua lengannya.
“Gue disuruh dateng pagi pagi banget.. buat milih eskul” jawab Ara sambil memainkan jari lentiknya di atas meja.

Andin hanya menganguk-angguk kepalanya. Semangkuk basonya, kini sudah berpindah ke perutnya.
“Terus lu milih eskul apa?” tanya Andin lalu menegak air mineral.

“Fotografi..” jawab Ara singkat.

Andin hampir tersedak lagi. Ia sampai terbatuk batuk. Memaksa Ara bangkit dari posisinya dan membantu menghentikan batuk Andin.

“Apa? Fotografi?” tanya Andin tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

***

Raka menghentkan mortornya di bawah pohon dekat danau belakang komplek rumahnya. Motor Nadja tampak terlihat tak berapa jauh dari tempat Raka menghentikan motornya.
Raka berjalan kearah danau. Dilihatnya Nadja sedang duduk di tepi danau. Melempari batu demi batu kearah danau.

“Udah berapa banyak ikan yang mati kena tempongan lo?” tanya Raka datar lalu langsung duduk di sebelah Nadja.

Nadja terus melemparkan batu ke arah danau. Matanya tidak beralih sama sekali.
“Menurut lo Ara gimana?” tanya Nadja pada Raka yang telah mengeluarkan kameranya. Dan memulai membidik gambar.

Raka mengalihkan pandangannya dari objek potretnya.
Di tepuknya kepala Nadja dengan keras.
“Jadi lo serius sama tuh cewe?” tanya Raka lalu tersenyum kecut.

Nadja hanya diam, tetap dengan posisinya melemparkan batu ke arah danau dengan tangan kanan sementara  tangan kirinya menggemgam batu umpannya yang sekarang sudah hampir habis.

“Gue rasa, rasa suka lo sama dia cuma karna hal sepele. Kesamaan nama, bukannya itu hal biasa?” ujar Raka yang kembali asyik mengambil gambar.

Nadja berhenti melempari batu. Bukan hanya karna sudah kehabisan batu, tetapi juga karna harus mencerna kata-kata Raka dengan baik.
“Kesamaan nama? Kesamaan nama gimana?” tanya Nadja bingung.

Raka menghentikan kegiatannya mengambil gambar, ditatapnya Nadja lekat-lekat, “Jadi lo ga tau? Nama panjang Ara, Arasta Kania, Arasta. Nadja Arasta. Gue pikir karna itu..” kata Raka dengan menekan setiap menyebutkan satu kata, Arasta.

Nadja terpaku tak percaya mendengar apa yang baru saja Raka ucapkan. Sudah hampir satu bulan ia sekelas dengan Ara. Dan sama sekali tidak tahu nama panjangnya.

Raka menghela nafas panjang. Ia memandang Nadja yang masih diam tak bergeming.
“Jadi, kenapa lo begitu tertariknya sama tu cewek? Lo tau kan, apapun yang lo mau, apapun yang lo punya gue juga bakal dapetin itu..”

Nadja memandang Raka yang sedang mengamatinya juga. Dia bangkit dari duduknya.
“Kali ini lo harus berusaha lebih keras lagi sepertinya. Karna gue ga akan ngasih dia dengan sukarela” ujar Nadja lalu pergi meninggalkan Raka.

Raka hanya tersenyum kecil. Sisi buruknya sepertinya akan keluar lagi. Ia kembali membidik gambar untuk kembali menidurkan sisi buruknya itu.

***

Ara terus-terusan mengelap piring yang sebenarnya sudah kering, ia setengah melamun. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Andin katakan. Ketua klub fotografi adalah Raka.
Andin menyuruhnya untuk tidak usah ikut eskul fotografi, tapi tidak ada eskul lain yang menarik baginya. Ara tidak seperti Andin yang pandai berakting dan aktif dalam teater. Ara juga lemah dalam olahraga tidak mungkin baginya ikut eskul yang berhubungan dengan olahraga. Hanya fotografi yang menarik baginya.

Ara masih mengelap piring yang sama, hari ini tidak begitu banyak pengunjung di kedai. Sebelum pulang ia biasa mencuci piring dahulu. Hitung-hitung membantu pekerjaan pegawai yang lain.

“Ara belum pulang?” pertanyaan tersebut menyadarkan Ara dari lamunannya. Tante Ariana sudah ada di sebelahnya, nampak memandangi Ara dengan tatapan khawatir.

Ara meletakan piring yang sedari tadi di lap olehnya ke tempat yang seharusnya.
Ara tertawa kecil, “Ini sudah mau pulang kok Tan” ujar Ara.

“Yaudah, Tante anter ya.. Tante udah mau pulang juga.. kamu siap-siap ya” kata Tante Ariana. Ia mengelus kepala Ara dengan lembut sebelum keluar dari dapur. Membuat Ara merindukan sosok Mamanya.

Ara segera keluar dari dapur. Ia melepaskan celemek yang ia pakai. Ara merapikan rambutnya, melepaskan ikat rambutnya dan membiarkan rambut panjangnya yang lurus tergerai. Ia sebenarnya lebih menyukai rambut yang ikal, seperti rambut mamanya, tapi mau bagaimana lagi ia lahir dengan rambut seperti papanya, hitam dan lurus.
Ara memakai topinya. Kupluk cookie monster dengan sepasang mata khasnya dan tali menjuntai panjang di daerah telinga, pemberian dari Natta sebelum dia pergi ke italy. Ia pun segera keluar dan menghampiri Tante Ariana yang sudah siap di mobilnya.

“Gimana sekolah Ra?” tanya Tante Ariana setelah beberapa saat mereka berdua diam tak bergeming di mobil.

“Eh.. Baik ko Tan.. Ara ga begitu kesulitan di pelajaran, Ara juga sudah punya banyak temen..” jawab Ara agak kebingungan karna tiba-tiba ditanyai hal seperti itu oleh Tante Ariana.

“Bener nih? Kalo ada kesulitan bilang aja ya.. Tante kan wali kamu disini..” ujar Tante Ariana lalu tersenyum. Ia masih memandang ke arah depan. Memastikan dapat mengemudi dengan baik dan aman.

Ara menangguk. Lalu tersenyum simpul. Tak lama kemudian mobil Tante Ariana berhenti. Mereka sudah tiba di kosan Ara. Ara melepas Seatbeltnya, dan segera keluar mobil.
Setelah berpamitan dengan Tante Ariana. Ara langsung masuk ke kosannya.

Ara menyalakan lampu, ia berjalan kearah pantry dan mengambil minum di kulkas. Ia letakan tasnya di meja dan meringkuk sebentar di meja pantry. Ada PR matematika sebenarnya, tapi Ara terlalu lelah untuk mengerjakannya.

Ara menghela nafas. Ia lelah sekali..
Belum ada satu bulan tapi Ara seperti sudah akan menyerah. Ara rindu Mamanya, Papanya, Natta..
Ara merindukan keluarganya yang dulu. Saat semuanya masih utuh. Ara lelah hidup nomaden. Satu semester di mamanya, semester berikutnya di papanya. Makanya dia memutuskan untuk ngekos di Jakarta. Ia hampir menyerah dari semua itu, sampai akhirnya ia bertemu dengan Natta.

Natta bagaikan hujan yang menyejukan setelah hatinya lama kekeringan. Ara tau, Natta sama hancurnya dengan dia, lebih hancur malah. Tapi berdua mereka saling menguatkan. Ia benar-benar merindukan cowok menyebalkan itu. Yang selalu mengeluarkan kalimat-kalimat jayus. Yang sama sekali tidak akan membuatnya tertawa. Ekspresinya yang seakan memohon agar kalimatnya terdengar lucu, justru yang akan membuat Ara tertawa.

Ara bangkit dari posisinya yang meringkuk. Manik hitamnya nampak sedikit berkilat, ia tidak mau menangis lagi. Ara pergi ke kamar mandi. Lalu membersihkan badannya sebentar. Selesai mandi, Ara langsung beringsut di bawah selimutnya. Mencoba mendapatkan hidup yang lebih indah, di dunia lainnya.

***

HUJAN DAN AROMA KOPI (delapan)



Raka memeasuki kelas XI B. Dengan santainya ia berkeliling kelas itu, seolah tidak ada siapa-siapa di kelas itu. Semua orang di kelas nampak kaget dan tak percaya melihat Raka memasuki kelas mereka, termasuk Nadja yang menatap Raka yang sedang asyik berkeliling kelasnya.

Raka terus berkeliling  kelas. Memainkan jarinya melawati meja demi meja. Sampai akhirnya berhenti persis di meja Nadja. Raka menatap Nadja dengan ekspresi akrab yang dibuat-buat, sementara Nadja terus memainkan handphonenya tanpa bergeming, seakan tidak ada Raka di sebelahnya.

“Lo ngapain ke kelas gue? Kita ga ada jadwal buat berantem hari ini kayanya..” tanya Nadja dingin tanpa mengalihkan perhatiannya dari handphone.

Raka tersenyum kecut, “Gue ke sini bukan buat ketemu elo. Gue mau ketemu Ara. Tapi kayanya dia belum dateng” jawab Raka, lalu memutar pandangannya seakan mencari sosok Ara.

Mendengar ucapan Raka, Nadja sontak berdiri. Di cekalnya kerah kemeja Raka.
“Urusan lo sama gue, lo ga usah bawa-bawa dia..” kata Nadja.

Raka melepaskan cekalan tangan Nadja dari kerasnya. Dan langsung membersihkan kerahnya, seakan-akan habis terkena kotoran.
“Urusan gue juga sama tuh cewe, bukan sama lo. Jadi, lo ga usah bawa-bawa diri lo di urusan kami..” Raka tersenyum, seakan kemenangan telah ada di depannya.

“Karna Ara ga ada gue mau balik ke kelas dulu.. Lo bisa hubungin gue kalo dia udah dateng..” ujar Raka lalu pergi meninggalkan Nadja yang masih menahan amarahnya.

Nadja mengepalkan tangannya. ‘Apa yang dilakuin tuh cewe sampe Raka malah deketin dia?’ Nadja bertanya kesal dalam hati.

Nadja segera beranjak dari tempatnya dan bergerak ke arah meja Ara dan Andin.

“Kemana temen lo? Kok dia belom dateng?” tanya Nadja kepada Andin yang masih tercengang melihat pertemuan dua orang paling diminati di sekolah Nadja dan Raka.

“Gu-gue ga tau.. Biasanya dia udah dateng. Mungkin dia kesiangan” jawab Andin pelan.

Nadja kembali mengepalkan tangannya. Matanya terlihat nyalang, namun nampak juga kekhawatiran diwajahnya. Ia segera keluar kelas. Meninggalkan Andin yang nampak sedikit ketakutan dan teman-temannya yang lain yang sedang asyik berceloteh melihata kejadian jarang seperti ini.

***

Ara memasuki kelasnya, tepat sebelum bel berbunyi.
Ara nampak sedikit keheranan mendapati pandangan dari teman-temannya yang terlihat aneh suasana kelas pun tidak seperti biasa.

Andin yang melihat kehadiran Ara langsung bangkit dari duduknya, ia  menghampiri Ara. Di tariknya lengan Ara menuju meja mereka.

Melihat perilaku Andin, Ara makin heran.
“Lo dari mana aja?” tanya Andin dengan menekan setiap suku katanya. Ia bahkan belum memberi kesempatan kepada Ara untuk duduk di kursinya.

Ara menggaruk keningnya, “Ada apa si Ndin? Ko pada ngeliatin gue gitu?” tanya Ara bingung.

Andin menepak keningnya sendiri. Dia bingung sebenarnya apa yang ada pada diri Ara sampai sampai belum sebulan sekolah sudah harus berurusan dengan orang-orang paling berbahaya di sekolah.
“Lo itu gue tanya malah balik tanya.. Lo tau ga? Tadi Raka, musuhnya Nadja yang gue bilang waktu itu yang anak XI D dateng kesini nyariin lo..” jelas Andin membuat Ara semakin bingung..

“Nyariin gue? Ngapain? Raka yang ma...” Ara tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Seketika tubuh Ara melemas, sampai ia langsung terduduk di kursinya, pikirannya melayang jauh kemana-mana. Ia teringat secarik kertas yang ada di kamus Bahasa Jepang miliknya.
“Jangan-jangan Raka yang udah gue gebukin itu Ndin?” tanya Ara sedikit tak percaya.

Andin melongos mendengar ucapan Ara.

“Raka yang lo apain? Lo gebukin?” Andin mengulang pertanyaan Ara.
 Ia benar-benar bingung kenapa temannya ini selalu masuk ke dalam suatu permasalahan yang seharusnya ia hindari sebagai anak baru.

Mereka berdua malah sama-sama duduk diam tak bergeming. Bahkan tidak menyadari Bu Siti guru matematika mereka sudah memasuki kelas.

***

Raka tengah asyik mengedit foto di atap sekolah. Dia benar-benar tidak minat belajar. Ia melihat-lihat objek gambar yang ada pada kameranya. Dan berhenti di foto terakhir. Ia tersenyum melihat foto itu. Sosok Ara yang sedang asyik membaca komik sambil berjalan menuju kelasnya.

Ia selalu menghindari gadis-gadis selama ini. Tapi bukan berarti dia benar-benar menutup diri seperti Nadja. Ia tertawa kecut saat tanpa sadar ia kembali memikirkan Nadja.

Dahulu mereka berteman, akrab malah. Tapi sekarang mereka saling bersaing. Mereka sama pintarnya, mereka sama terkenalnya, dan mereka sama nakalnya. Raka menutup laptopnya dan berpindah ke tepi gedung. Dari atas atap, sekolah terlihat sepi dan lengang. Ini pasti karna jam pelajaran masih berlangsung.

Raka mulai mengambil gambar menggunakan kameranya. Ia tidak memilih objeknya, hanya asal membidik. Handphone di saku celananya bergetar. Ada sms masuk. Dan sms itu dari Nadja.


From : Nadja
Ke danau sekarang.

‘Halaaaaahh orang ini sok memerintah lagi..’ umpat Raka dalam hati.
Tapi tetap saja kakinya melangkah menuju tangga kembali ke kelasnya.

“Raka darimana kamu?” tanya Pak Anta yang tengah asyik menuliskan soal-soal di papan tulis.

Raka terus berjalan ke mejanya memasukan laptopnya ke tasnya. Lalu membawa tas serta jaketnya, ia berjalan hendak keluar kelas lagi.

“Udah ya Bapak Guru Yang Terhormat, saya mau cabut. Bapak anggap aja saya ga masuk kesini. Permisi..” ujar Raka dengan santainya. Lalu segera melangkah meninggalkan kelas.

***


OKESAYAMASIHMENGHARAPADAJEJAKTERTINGGALDISINI.
SETIDAKNYABISABIKINSAYAJADI LEBIHBAIKLAGI..
 INI CERITA PENDEK-PENDEK SEKALI.. SAYA GA TAU KAPAN SELESAINYA.
KARNA PIKIRAN SAYA JUGA ANGIN-ANGINAN..

*KEONARANTERLAKSANA
*NOX!

HUJAN DAN AROMA KOPI (tujuh)



“Issshhhh.. Lo mo ngapain sih? Lepasin!” Ara berusaha agar cengkraman tangan Nadja di lengannya terlepas. Cengkraman Nadja malah makin kuat. Ia menarik paksa Ara ke taman belakang sekolah. Tempat yang paling jarang di datangi orang karna banyak yang bilang tempat ini angker.

“Lo kemarin pulang selamet kan? Ga ketemu cowo rusuh yang kemarin?” tanya Nadja dengan tatapan serius. Ara melengos, ia dipaksa ke sini cuma untuk di tanyai hal bodoh seperti ini.

“Engga gue ga selamet... Gue hampir mati kemarin..” jawab Ara asal. Ia bermaksud untuk pergi tapi langkahnya kembali di hentikan oleh Nadja.

Nadja mencondongkan tubuhnya yang tinggi agar sejajar dengan Ara, “Dengerin gue.. Lo, apapun yang terjadi jangan sampai elo berurusan lagi sama cowo kemarin” ujar Nadja ia membisikkan kalimatnya itu di telinga Ara.

Ara menatap Nadja dengan kesal.
“Kalo ada orang yang paling males buat gue, berurusan sama orang, gue rasa orangnya itu elo!”
 “Mau gue berurusan sama siapa bukan urusan elo. Sekarang lepasin gue! Udah mau bel.. Cepet!” kata Ara dengan kesal. Nadja pun melepaskan cekalannya di lengan Ara. Dan Ara segera meninggalkan Nadja.

***

Raka menghentikan motornya di kedai kopi kecil, ia yakin Nadja sering ke kedai kopi ini. Raka duduk di kursi di pojok ruangan, seorang pelayanan menghampirinya dan menanyakan pesanannya.

“Mas mau pesan apa?” tanya si pelayanan sambil bersiap untuk mencatat pesanan yang akan di pesan Raka.

Raka membolak-balik buku menu di tangannya.
“Latte Art mba.. Tapi buatnya langsung di depan gue bisa mba?” tanya Raka sambil menyerahkan buku menu pada si pelayanan.

Si pelayan mengangguk “Sebentar ya Mas, nanti saya panggil yang buat biar langsung buat disini”
Raka mengangguk, lalu memainkan gadgetnya. Dia berencana merekam proses pembuatan Latte Art yang dia pesan itu.

“Permisi Mas, Mas yang pesen Latte Art kan?”

Pertanyaan tersebut mengalihkan perhatian Raka dari gadgetnya. Dan ia tampak sedikit terkejut karna orang yang akan membuat Latte Art ini adalah cewek yang tertangkap basah olehnya  sedang bersama Nadja waktu itu, cewek yang udah menghajar dia dengan kamus bahasa jepang yang tebal, Arasta Kania.

“Iya gue yang mesen. Bisa kan bikin langsung di depan gue?” tanya Raka, Ara mengangguk. Sepertinya ia tidak mengenali Raka.

“Oke mas, sebelum saya bikin. Saya bilang ya ke mas nya saya bukan pembuat latte art ahli. Saya juga bukan barista disini. Saya Cuma sekedar bisa” jelas Ara pada Raka yang memperhatikannya dengan sangat teliti.

“Saya Cuma bisa bikin Latte Art 2D, yang saya buat ini pake teknik free pouring..” Ara melanjutkan penjelasannya, sambil membuat Latte Art dengan sangat hati-hati.

Raka tidak mendengarkan penjelasan Ara ataupun memperhatikan bagaimana Ara membuat Latte nya. Raka hanya fokus memperhatikan wajah Ara.

‘Gila nih cewe! Bener bener ga inget gue kayanya’ umpat Raka dalam hati.

Ara benar-benar serius membuat Latte, ia benar-benar tidak menyadari bahwa orang dihadapannya sekarang adalah orang yang telah ia pukuli dengan kamus karna adu jotos dengan Nadja.

“Selesai.. Mas nya mau pesan apa lagi?” tanya Ara. Ia sudah menyelesaikan pekerjaannya.

Raka bangkit dari duduknya, “Gue ga mau pesen apa-apa lagi.. Gue Cuma mau balikin ini..” kata Raka lalu meletakan Kamus Bahasa Jepang milik Ara di atas meja.

Ara diam seribu bahasa, matanya tidak bisa beralih dari kamusnya yang sekarang ada di atas meja.

“Lo kayanya bener-bener ga inget gue..” ujar Raka.

Raka menghela nafas panjang, “Ck, yaudah lah.. Gue pergi dulu. Nih buat bayar Latte nya. Gue sayang minumnya, cantik banget. Gue pikir ini uang nya cukup. Kalo kurang lo dateng aja ke kelas gue XI D..” lanjut Raka. Lalu pergi meninggalkan Ara yang masih tak bergerak. Raka meninggalkan uang tiga ratus ribu diatas meja.

Ara masih diam tak bergeming. Dia benar-benar tidak percaya bagaimana bisa hal buruk seperti ini terus-terusan menimpanya.

Ara mengambil kamusnya dan juga uang yang tergeletak di meja.

“Huuuuuaah.. Tiga ratus ribu hanya untuk secangkir Latte? Dia pasti orang sok, yang boros banget. Atau mungkin bodoh banget” ucap Ara spontan saat menghitung uang yang di tinggalkan Raka.

***

“Ra.. Lo baik-baik aja?” pertanyaan Natta menyadarkan Ara dari lamunannya.
Ia masih memikirkan betapa malang nasibnya. Hidupnya, sepertinya, tak lama lagi akan kacau.

“Gue ga baik. Makanya cepet pulang!” jawab Ara dengan ketus. Natta malah tertawa.

“Lo masih mikirin cowo bermasalah itu?” tanya Natta.

Ara menyisir rambut basahnya dengan jari. Sebenarnya ia lelah sekali hari ini. Pulang sekolah ia langsung ke kedai kopi Tante Ariana. Lumayan banyak pengunjung. Di tambah ia bertemu cowok aneh di kedai. Bertambah lagi orang yang tau dia kerja disana.

“Engga, gue ga mikirin orang ga penting..” jawab Ara.

“Yaudah. Lo mikirin gue aja kalo gitu” kata Natta, lalu tertawa.

Ara merengut, Natta selalu saja kepedean.
“Pengen banget. Udah ya Natt, gue mau ngerjain PR. Bye..”

“Belajar yang bener ya tuan putri. Bye..”

Ara meletakan handphonenya, kemudian mulai mengerjakan PR matematiknya. Hanya perlu setengah jam dan PR nya pun sudah selesai.

Ara membereskan buku-bukunya. Kemudian jatuh secarik kertas dari kamus bahasa jepangnya yang baru saja ingin ia kembalikan ke tempat semula.

Di bacanya tulisan yang terdapat di kertas itu.


Halo Ara.. Gue Raka. Senang bisa berkenalan. Gue harap kita bisa jadi teman yang baik.

***


Huuuuuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh.. Saya ga tau saya nulis apa ini cerita makin ga jelas junjrungannya..
Harap beri jejak.. Saya bener-bener butuh kritik dan saran.
Maklumi saya sebagai pemula..

*KEONARANTERLAKSANA..
*NOX!
*Brbmenghilang
*terbangkeneverland
*tanpapixiedust..ofcourse

Rabu, 06 Mei 2015

HUJAN DAN AROMA KOPI (enam)





Raka duduk di jendela kamarnya, ia dengan santai menghisap berbatang-batang rokok. Pikirannya mengawang jauh, teringat gadis yang sudah memukulinya dengan kamus yang tebal. Gadis yang tertangkap basah sedang bersama Nadja, musuh bebuyutannya.

Pasti ada sesuatu pada gadis ini yang membuat Nadja yang terkenal anti cewek bisa ada sama gadis ini. Dan sepertinya, Raka sudah menemukan alasannya.

Ia membaca lagi tulisan tangan yang ada di kamus itu.

Arasta Kania, XI B.

Raka tersenyum, senyuman kelam. Ia mengambil kertas kecil, menuliskan sesuatu di kertas itu, lalu menyelipkannya di kamus tebal milik Ara.

***

Ara tidak bisa memejamkan matanya. 22.30. Ara sudah melewati jam tidurnya. Matanya masih tidak mau terpejam, ia terus saja membayangkan apa yang terjadi sepulang sekolah tadi.

‘cowo cowo sinting dasar!’ pikir Ara. Dia benar-benar cemas. Dia sudah masuk ke Black Hole. Dia mungkin benar-benar tidak akan bisa hidup dengan tenang.

‘Natta! Aku bener bener harus curhat ama dia’ ide itu muncul begitu saja di kepala Ara karna hanya Natta yang selalu siap jadi tong sampah pribadinya.

Ara mengambil handphonenya dan mencoba menghubungi Natta.

“Halo, Natta?” ujar Ara saat teleponnya diangkat.

“He-eh. Ada apa tumben telepon, biasanya harus gue yang nelpon. Apalagi ini udah malem” kata Natta yang jauh disana.

“Oke, karna lo bilang gitu gue jadi inget. Gue matiin. Lo telpon balik, harus telepon balik. Gue lagi mau cerita” kata Ara dengan sedikit memaksa, lalu menutup telponnya. Telpon Ara pun bergetar dan dengan antusias Ara segera mengangkat panggilan itu.

“Halo, Natta! Lama banget telpon baliknya..” kata Ara sedikit kesal.

“.....”

“Nat...  Kok elu diem aja?” tanya Ara kebingungan, sementara lawan bicaranya tak bergeming.

“Gue Nadja, Ra...” jawaban orang di balik telepon, yang benar-banar mengagetkan Ara

“Elo?” tanya Ara tak percaya.

“Udah dulu ya Ra, kapan kapan gue hubungin lagi” panggilan telepon terputus. Sementara Ara masih dengan raut wajah tak percaya. ‘Darimana orang gila ini dapet nomer aku?’ tanyanya dalam hati.

Handphone Ara kembali bergetar, kali ini ia periksa dulu siapa yang menelepon baru mengangkatnya.
Ternyata telepon dari Natta, Ara pun menghabiskan malamnya untuk menceritakan semua kejadian hari ini pada Natta, sampai akhirnya tertidur dengan handphone masih tertempel di telinga.

***

Nadja tersentak saat mendengar nama yang disebutkan Ara di telepon. Nama yang menariknya jauh ke masa lalu. Nama yang merobohkan dinding yang sudah ia pasang dalam waktu yang lama.

“Natta...” lidahnya kelu mengucapkan nama itu lagi. Hatinya yang mulai berhenti berdarah karna waktu yang perlahan menghentikannya. Dalam sekejap kembali berdarah hanya karna nama itu.

“Ya ampun Nadja.. Banyak kali yang namanya Natta” ujarnya berusaha menenangkan diri.
Usahanya memaksa Andin memberikannya nomor Ara malah membuat sesak hatinya.

Ia tak mengerti semua yang ada pada Ara selalu merobek hatinya perlahan, karna dengan paksa menariknya ke masa lalu.
Nadja tidak tahu, sebenarnya apa hubungan dia dengan Ara, kenapa gadis ini amat sangat menarik baginya. Tapi semakin dia dekati, gadis ini menambah sesak hatinya

Nadja merebahkan tubuhnya di kasur, ia menghela nafasnya. Ia mendengar suara mobil diluar. Dilihat jam tangannya 00.05. Itu pasti suara mobil Papanya, seingat Nadja sudah hampir dua minggu ia tidak melihat Papanya. Ia sudah tidak peduli lagi pada laki laki yang dalam darah Nadja mengalir juga darahnya.

Nadja memaksakan matanya untuk terpejam. Saat tak ada tempat lagi untuk Nadja melarikan diri. Tidur mungkin satu-satunya cara untuk lepas dari semua masalah nya.

***

“Araaaaaaa...”

Teriakan Andin mengagetkan Ara yang sedang berjalan ke kelas sambil membaca komik, hampir saja Ara jatuh karna kaget.

Andin berlari menghampiri Ara “Araaa... Maafin gue Ra.. Maaf maaf maaf” Andin terus terusan berkata maaf, sementara Ara malah kebingungan melihat tingkah Andin.

Ara memaksa Andin masuk ke kelas, karna apa yang dilakukan Andin benar benar akan menarik perhatian, dan Ara paling malas jadi pusat perhatian.

“Araaa... Maafin gue...” Andin mengucapkannya lagi.

“Maaf apaan sih? Lu emang ngapain gue sampe harus segala minta maaf?” tanya Ara bingung.

“Tadi sore.. Nadja dateng ke rumah...” Andin berusaha menjawab Ara

“Hah? Ngapain dia ke rumah lu” tanya Ara makin bingung, mendengar penjelasan Andin yang belum selesai.

Andin lemas, ia merasa dirinya benar-benar teman yang tidak berguna.

“Dia minta nomer lo.. Maksa. Gue ga ngerti lagi gimana harus nolaknya, jadi gue kasih tau. Gimana dong Raa... Gue udah masukin temen gue sendiri ke kandang singa” Andin benar benar terlihat kacau.

Ara terdiam. Ia bingung. Sebenarnya tidak ada salahnya juga kalau Nadja tau nomernya. Kecuali.. kalau Nadja benar-benar sangat berbahaya. Pembunuh bayaran mungkin.

“Yaudah lah Ndin, mo gimana lagi? Pantes aja dia nelpon gue kemarin.. Tapi kayanya dia lagi punya korban buat dibunuh, soalnya malah langsung dimatiin” kata Ara lalu menepuk pundak Andin, memaksa temannya ini agar tidak khawatir.

Tak lama kemudian Nadja dan Banyu masuk kelas. Mata Ara bertemu dengan mata Nadja. Dingin.
Setelah meletakan tasnya di meja Nadja menghampiri Ara, dan menarik lengan Ara. Memaksanya keluar. Andin yang melihatnya tidak bisa berbuat apa apa. Sementara anak lain di kelas malah berbisik-bisik tidak jelas, merasa iri karna si anak baru berhasil menarik perhatian si pentolan sekolah.

***


Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh...
Setelah enam bagian baru cuap-cuap..

Hujan Dan Aroma Kopi.. saya ga tau mau nyebut ini apa.. bisa di bilang cerbung gitu tapi ga tau juga. Masalahnya.. Otak saya kalo lagi bener, bener bisa ngayal. Kalo engga ya kaga, wkwkwkwk..

So, hope you enjoy my little weirdness..

Laff

*KEONARANTERLAKSANA
*NOX!