“Uhuk.. Apa?” Andin masih tidak percaya dengan apa yang Ara
ceritakan. Dia hampir tersedak baso yang baru saja masuk mulutnya.
Ara hanya menunduk lemas. Dia bahkan tidak memesan apa-apa.
Padahal ia belum sempat sarapan, karna tadi pagi ia berangkat lebih pagi dari
biasanya.
“Sebenarnya lo itu kenapa sih? Kayanya ada aja gituu..” Andin
beringsut kesal ia terus-terusan memakan baso nya, sebegai ekspresi dari isi
hatinya.
“Gue juga ga tau..” ujar Ara, ia menekuk mukanya ia sembunyikan di
balik tangannya.
Suasana kantin makin ramai. Banyak orang berdesak-desakan di
setiap tukang jualan. Ara belum bangkit dari posisinya. Masih menelungkupkan
kepalanya di kedua tangannya yang bersandar diatas meja.
“Terus tadi pagi lo kemana? Kok siang banget masuk kelas?” tanya
Andin pada Ara yang masih belum bergerak.
Ara mengangkat kepalanya, dagunya masih bersandar di kedua
lengannya.
“Gue disuruh dateng pagi pagi banget.. buat milih eskul” jawab Ara
sambil memainkan jari lentiknya di atas meja.
Andin hanya menganguk-angguk kepalanya. Semangkuk basonya, kini
sudah berpindah ke perutnya.
“Terus lu milih eskul apa?” tanya Andin lalu menegak air mineral.
“Fotografi..” jawab Ara singkat.
Andin hampir tersedak lagi. Ia sampai terbatuk batuk. Memaksa Ara
bangkit dari posisinya dan membantu menghentikan batuk Andin.
“Apa? Fotografi?” tanya Andin tidak percaya dengan apa yang ia
dengar.
***
Raka menghentkan mortornya di bawah pohon dekat danau belakang
komplek rumahnya. Motor Nadja tampak terlihat tak berapa jauh dari tempat Raka
menghentikan motornya.
Raka berjalan kearah danau. Dilihatnya Nadja sedang duduk di tepi
danau. Melempari batu demi batu kearah danau.
“Udah berapa banyak ikan yang mati kena tempongan lo?” tanya Raka
datar lalu langsung duduk di sebelah Nadja.
Nadja terus melemparkan batu ke arah danau. Matanya tidak beralih
sama sekali.
“Menurut lo Ara gimana?” tanya Nadja pada Raka yang telah
mengeluarkan kameranya. Dan memulai membidik gambar.
Raka mengalihkan pandangannya dari objek potretnya.
Di tepuknya kepala Nadja dengan keras.
“Jadi lo serius sama tuh cewe?” tanya Raka lalu tersenyum kecut.
Nadja hanya diam, tetap dengan posisinya melemparkan batu ke arah
danau dengan tangan kanan sementara
tangan kirinya menggemgam batu umpannya yang sekarang sudah hampir
habis.
“Gue rasa, rasa suka lo sama dia cuma karna hal sepele. Kesamaan
nama, bukannya itu hal biasa?” ujar Raka yang kembali asyik mengambil gambar.
Nadja berhenti melempari batu. Bukan hanya karna sudah kehabisan
batu, tetapi juga karna harus mencerna kata-kata Raka dengan baik.
“Kesamaan nama? Kesamaan nama gimana?” tanya Nadja bingung.
Raka menghentikan kegiatannya mengambil gambar, ditatapnya Nadja
lekat-lekat, “Jadi lo ga tau? Nama panjang Ara, Arasta Kania, Arasta. Nadja
Arasta. Gue pikir karna itu..” kata Raka dengan menekan setiap menyebutkan satu
kata, Arasta.
Nadja terpaku tak percaya mendengar apa yang baru saja Raka
ucapkan. Sudah hampir satu bulan ia sekelas dengan Ara. Dan sama sekali tidak
tahu nama panjangnya.
Raka menghela nafas panjang. Ia memandang Nadja yang masih diam
tak bergeming.
“Jadi, kenapa lo begitu tertariknya sama tu cewek? Lo tau kan,
apapun yang lo mau, apapun yang lo punya gue juga bakal dapetin itu..”
Nadja memandang Raka yang sedang mengamatinya juga. Dia bangkit
dari duduknya.
“Kali ini lo harus berusaha lebih keras lagi sepertinya. Karna gue
ga akan ngasih dia dengan sukarela” ujar Nadja lalu pergi meninggalkan Raka.
Raka hanya tersenyum kecil. Sisi buruknya sepertinya akan keluar
lagi. Ia kembali membidik gambar untuk kembali menidurkan sisi buruknya itu.
***
Ara terus-terusan mengelap piring yang sebenarnya sudah kering, ia
setengah melamun. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Andin katakan. Ketua
klub fotografi adalah Raka.
Andin menyuruhnya untuk tidak usah ikut eskul fotografi, tapi
tidak ada eskul lain yang menarik baginya. Ara tidak seperti Andin yang pandai
berakting dan aktif dalam teater. Ara juga lemah dalam olahraga tidak mungkin
baginya ikut eskul yang berhubungan dengan olahraga. Hanya fotografi yang
menarik baginya.
Ara masih mengelap piring yang sama, hari ini tidak begitu banyak
pengunjung di kedai. Sebelum pulang ia biasa mencuci piring dahulu.
Hitung-hitung membantu pekerjaan pegawai yang lain.
“Ara belum pulang?” pertanyaan tersebut menyadarkan Ara dari
lamunannya. Tante Ariana sudah ada di sebelahnya, nampak memandangi Ara dengan
tatapan khawatir.
Ara meletakan piring yang sedari tadi di lap olehnya ke tempat
yang seharusnya.
Ara tertawa kecil, “Ini sudah mau pulang kok Tan” ujar Ara.
“Yaudah, Tante anter ya.. Tante udah mau pulang juga.. kamu
siap-siap ya” kata Tante Ariana. Ia mengelus kepala Ara dengan lembut sebelum
keluar dari dapur. Membuat Ara merindukan sosok Mamanya.
Ara segera keluar dari dapur. Ia melepaskan celemek yang ia pakai.
Ara merapikan rambutnya, melepaskan ikat rambutnya dan membiarkan rambut
panjangnya yang lurus tergerai. Ia sebenarnya lebih menyukai rambut yang ikal,
seperti rambut mamanya, tapi mau bagaimana lagi ia lahir dengan rambut seperti
papanya, hitam dan lurus.
Ara memakai topinya. Kupluk cookie monster dengan sepasang mata
khasnya dan tali menjuntai panjang di daerah telinga, pemberian dari Natta
sebelum dia pergi ke italy. Ia pun segera keluar dan menghampiri Tante Ariana
yang sudah siap di mobilnya.
“Gimana sekolah Ra?” tanya Tante Ariana setelah beberapa saat
mereka berdua diam tak bergeming di mobil.
“Eh.. Baik ko Tan.. Ara ga begitu kesulitan di pelajaran, Ara juga
sudah punya banyak temen..” jawab Ara agak kebingungan karna tiba-tiba ditanyai
hal seperti itu oleh Tante Ariana.
“Bener nih? Kalo ada kesulitan bilang aja ya.. Tante kan wali kamu
disini..” ujar Tante Ariana lalu tersenyum. Ia masih memandang ke arah depan.
Memastikan dapat mengemudi dengan baik dan aman.
Ara menangguk. Lalu tersenyum simpul. Tak lama kemudian mobil
Tante Ariana berhenti. Mereka sudah tiba di kosan Ara. Ara melepas Seatbeltnya,
dan segera keluar mobil.
Setelah berpamitan dengan Tante Ariana. Ara langsung masuk ke
kosannya.
Ara menyalakan lampu, ia berjalan kearah pantry dan mengambil
minum di kulkas. Ia letakan tasnya di meja dan meringkuk sebentar di meja
pantry. Ada PR matematika sebenarnya, tapi Ara terlalu lelah untuk
mengerjakannya.
Ara menghela nafas. Ia lelah sekali..
Belum ada satu bulan tapi Ara seperti sudah akan menyerah. Ara
rindu Mamanya, Papanya, Natta..
Ara merindukan keluarganya yang dulu. Saat semuanya masih utuh.
Ara lelah hidup nomaden. Satu semester di mamanya, semester berikutnya di
papanya. Makanya dia memutuskan untuk ngekos di Jakarta. Ia hampir menyerah
dari semua itu, sampai akhirnya ia bertemu dengan Natta.
Natta bagaikan hujan yang menyejukan setelah hatinya lama
kekeringan. Ara tau, Natta sama hancurnya dengan dia, lebih hancur malah. Tapi
berdua mereka saling menguatkan. Ia benar-benar merindukan cowok menyebalkan
itu. Yang selalu mengeluarkan kalimat-kalimat jayus. Yang sama sekali tidak
akan membuatnya tertawa. Ekspresinya yang seakan memohon agar kalimatnya
terdengar lucu, justru yang akan membuat Ara tertawa.
Ara bangkit dari posisinya yang meringkuk. Manik hitamnya nampak
sedikit berkilat, ia tidak mau menangis lagi. Ara pergi ke kamar mandi. Lalu
membersihkan badannya sebentar. Selesai mandi, Ara langsung beringsut di bawah
selimutnya. Mencoba mendapatkan hidup yang lebih indah, di dunia lainnya.
***