Jumat, 08 Mei 2015

HUJAN DAN AROMA KOPI (sembilan)



“Uhuk.. Apa?” Andin masih tidak percaya dengan apa yang Ara ceritakan. Dia hampir tersedak baso yang baru saja masuk mulutnya.

Ara hanya menunduk lemas. Dia bahkan tidak memesan apa-apa. Padahal ia belum sempat sarapan, karna tadi pagi ia berangkat lebih pagi dari biasanya.

“Sebenarnya lo itu kenapa sih? Kayanya ada aja gituu..” Andin beringsut kesal ia terus-terusan memakan baso nya, sebegai ekspresi dari isi hatinya.

“Gue juga ga tau..” ujar Ara, ia menekuk mukanya ia sembunyikan di balik tangannya.

Suasana kantin makin ramai. Banyak orang berdesak-desakan di setiap tukang jualan. Ara belum bangkit dari posisinya. Masih menelungkupkan kepalanya di kedua tangannya yang bersandar diatas meja.

“Terus tadi pagi lo kemana? Kok siang banget masuk kelas?” tanya Andin pada Ara yang masih belum bergerak.

Ara mengangkat kepalanya, dagunya masih bersandar di kedua lengannya.
“Gue disuruh dateng pagi pagi banget.. buat milih eskul” jawab Ara sambil memainkan jari lentiknya di atas meja.

Andin hanya menganguk-angguk kepalanya. Semangkuk basonya, kini sudah berpindah ke perutnya.
“Terus lu milih eskul apa?” tanya Andin lalu menegak air mineral.

“Fotografi..” jawab Ara singkat.

Andin hampir tersedak lagi. Ia sampai terbatuk batuk. Memaksa Ara bangkit dari posisinya dan membantu menghentikan batuk Andin.

“Apa? Fotografi?” tanya Andin tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

***

Raka menghentkan mortornya di bawah pohon dekat danau belakang komplek rumahnya. Motor Nadja tampak terlihat tak berapa jauh dari tempat Raka menghentikan motornya.
Raka berjalan kearah danau. Dilihatnya Nadja sedang duduk di tepi danau. Melempari batu demi batu kearah danau.

“Udah berapa banyak ikan yang mati kena tempongan lo?” tanya Raka datar lalu langsung duduk di sebelah Nadja.

Nadja terus melemparkan batu ke arah danau. Matanya tidak beralih sama sekali.
“Menurut lo Ara gimana?” tanya Nadja pada Raka yang telah mengeluarkan kameranya. Dan memulai membidik gambar.

Raka mengalihkan pandangannya dari objek potretnya.
Di tepuknya kepala Nadja dengan keras.
“Jadi lo serius sama tuh cewe?” tanya Raka lalu tersenyum kecut.

Nadja hanya diam, tetap dengan posisinya melemparkan batu ke arah danau dengan tangan kanan sementara  tangan kirinya menggemgam batu umpannya yang sekarang sudah hampir habis.

“Gue rasa, rasa suka lo sama dia cuma karna hal sepele. Kesamaan nama, bukannya itu hal biasa?” ujar Raka yang kembali asyik mengambil gambar.

Nadja berhenti melempari batu. Bukan hanya karna sudah kehabisan batu, tetapi juga karna harus mencerna kata-kata Raka dengan baik.
“Kesamaan nama? Kesamaan nama gimana?” tanya Nadja bingung.

Raka menghentikan kegiatannya mengambil gambar, ditatapnya Nadja lekat-lekat, “Jadi lo ga tau? Nama panjang Ara, Arasta Kania, Arasta. Nadja Arasta. Gue pikir karna itu..” kata Raka dengan menekan setiap menyebutkan satu kata, Arasta.

Nadja terpaku tak percaya mendengar apa yang baru saja Raka ucapkan. Sudah hampir satu bulan ia sekelas dengan Ara. Dan sama sekali tidak tahu nama panjangnya.

Raka menghela nafas panjang. Ia memandang Nadja yang masih diam tak bergeming.
“Jadi, kenapa lo begitu tertariknya sama tu cewek? Lo tau kan, apapun yang lo mau, apapun yang lo punya gue juga bakal dapetin itu..”

Nadja memandang Raka yang sedang mengamatinya juga. Dia bangkit dari duduknya.
“Kali ini lo harus berusaha lebih keras lagi sepertinya. Karna gue ga akan ngasih dia dengan sukarela” ujar Nadja lalu pergi meninggalkan Raka.

Raka hanya tersenyum kecil. Sisi buruknya sepertinya akan keluar lagi. Ia kembali membidik gambar untuk kembali menidurkan sisi buruknya itu.

***

Ara terus-terusan mengelap piring yang sebenarnya sudah kering, ia setengah melamun. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Andin katakan. Ketua klub fotografi adalah Raka.
Andin menyuruhnya untuk tidak usah ikut eskul fotografi, tapi tidak ada eskul lain yang menarik baginya. Ara tidak seperti Andin yang pandai berakting dan aktif dalam teater. Ara juga lemah dalam olahraga tidak mungkin baginya ikut eskul yang berhubungan dengan olahraga. Hanya fotografi yang menarik baginya.

Ara masih mengelap piring yang sama, hari ini tidak begitu banyak pengunjung di kedai. Sebelum pulang ia biasa mencuci piring dahulu. Hitung-hitung membantu pekerjaan pegawai yang lain.

“Ara belum pulang?” pertanyaan tersebut menyadarkan Ara dari lamunannya. Tante Ariana sudah ada di sebelahnya, nampak memandangi Ara dengan tatapan khawatir.

Ara meletakan piring yang sedari tadi di lap olehnya ke tempat yang seharusnya.
Ara tertawa kecil, “Ini sudah mau pulang kok Tan” ujar Ara.

“Yaudah, Tante anter ya.. Tante udah mau pulang juga.. kamu siap-siap ya” kata Tante Ariana. Ia mengelus kepala Ara dengan lembut sebelum keluar dari dapur. Membuat Ara merindukan sosok Mamanya.

Ara segera keluar dari dapur. Ia melepaskan celemek yang ia pakai. Ara merapikan rambutnya, melepaskan ikat rambutnya dan membiarkan rambut panjangnya yang lurus tergerai. Ia sebenarnya lebih menyukai rambut yang ikal, seperti rambut mamanya, tapi mau bagaimana lagi ia lahir dengan rambut seperti papanya, hitam dan lurus.
Ara memakai topinya. Kupluk cookie monster dengan sepasang mata khasnya dan tali menjuntai panjang di daerah telinga, pemberian dari Natta sebelum dia pergi ke italy. Ia pun segera keluar dan menghampiri Tante Ariana yang sudah siap di mobilnya.

“Gimana sekolah Ra?” tanya Tante Ariana setelah beberapa saat mereka berdua diam tak bergeming di mobil.

“Eh.. Baik ko Tan.. Ara ga begitu kesulitan di pelajaran, Ara juga sudah punya banyak temen..” jawab Ara agak kebingungan karna tiba-tiba ditanyai hal seperti itu oleh Tante Ariana.

“Bener nih? Kalo ada kesulitan bilang aja ya.. Tante kan wali kamu disini..” ujar Tante Ariana lalu tersenyum. Ia masih memandang ke arah depan. Memastikan dapat mengemudi dengan baik dan aman.

Ara menangguk. Lalu tersenyum simpul. Tak lama kemudian mobil Tante Ariana berhenti. Mereka sudah tiba di kosan Ara. Ara melepas Seatbeltnya, dan segera keluar mobil.
Setelah berpamitan dengan Tante Ariana. Ara langsung masuk ke kosannya.

Ara menyalakan lampu, ia berjalan kearah pantry dan mengambil minum di kulkas. Ia letakan tasnya di meja dan meringkuk sebentar di meja pantry. Ada PR matematika sebenarnya, tapi Ara terlalu lelah untuk mengerjakannya.

Ara menghela nafas. Ia lelah sekali..
Belum ada satu bulan tapi Ara seperti sudah akan menyerah. Ara rindu Mamanya, Papanya, Natta..
Ara merindukan keluarganya yang dulu. Saat semuanya masih utuh. Ara lelah hidup nomaden. Satu semester di mamanya, semester berikutnya di papanya. Makanya dia memutuskan untuk ngekos di Jakarta. Ia hampir menyerah dari semua itu, sampai akhirnya ia bertemu dengan Natta.

Natta bagaikan hujan yang menyejukan setelah hatinya lama kekeringan. Ara tau, Natta sama hancurnya dengan dia, lebih hancur malah. Tapi berdua mereka saling menguatkan. Ia benar-benar merindukan cowok menyebalkan itu. Yang selalu mengeluarkan kalimat-kalimat jayus. Yang sama sekali tidak akan membuatnya tertawa. Ekspresinya yang seakan memohon agar kalimatnya terdengar lucu, justru yang akan membuat Ara tertawa.

Ara bangkit dari posisinya yang meringkuk. Manik hitamnya nampak sedikit berkilat, ia tidak mau menangis lagi. Ara pergi ke kamar mandi. Lalu membersihkan badannya sebentar. Selesai mandi, Ara langsung beringsut di bawah selimutnya. Mencoba mendapatkan hidup yang lebih indah, di dunia lainnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar